Sabtu, 23 Oktober 2010

Pekong dan masjid saksi bisu toleransi beragama di Indonesia



oleh Tony Kusmiran
22 Oktober 2010

Pontianak, Indonesia – Dalam bulan-bulan terakhir ini, toleransi beragama di Indonesia kembali ternodai oleh sejumlah peristiwa kekerasan. Sekelompok Muslim ekstremis menyerang kelompok agama minoritas dan komunitas Kristen—termasuk memaksa menutup gereja dan merusak bangunan ibadah lainnya.

Merespon hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya menekankan pentingnya toleransi beragama dengan mengajak semua pihak untuk mengamalkan “prinsip hidup rukun dalam masyarakat yang plural”, lepas dari banyaknya desakan agar presiden mengambil tindakan hukum yang tegas kepada para ekstremis yang menyerang kelompok agama atau etnis minoritas di negara ini.

Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang toleran, cinta kerukunan dan perdamaian—sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Secara umum, Indonesia cukup berhasil mencapai cita-cita ini, meski suku bangsa dan agama di negara ini amat beragam dan masih ada kekerasan serta politisasi agama.

Malah, ada sejumlah contoh di mana kelompok agama yang berbeda yang bisa hidup berdampingan satu sama lain, seperti misalnya hubungan antara komunitas Kristen Dayak, Muslim, dan penduduk Tionghoa di Sanggau. Ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat di daerah lain di Indonesia.

Sanggau, adalah kota kecil di bagian timur provinsi Kalimantan Barat. Di sinilah partai politik lokal bernama Partai Dayak pernah berdiri pada masa presiden Soekarno. Partai ini berhasil menyatukan orang Dayak, kelompok etnis terbesar di pulau Kalimantan, yang juga dikenal dengan nama Borneo.

Mayoritas penduduk Sanggau adalah orang Dayak penganut kristiani, baik Katolik maupun Protestan. Muslim menjadi minoritas dan lebih banyak hidup di wilayah kota. Dari segi komposisi etnis, Sanggau juga sangat beragam. Suku Dayak adalah suku mayoritas, sementara suku Melayu dan suku-suku lainnya adalah minoritas. Selain dua suku ini, ada juga penduduk dari etnis Tionghoa, Minang, Bugis, Jawa, Madura, Sunda, dan kelompok minoritas lainnya. Dalam keragaman ini, penduduk Sanggau hidup rukun dan damai.
Me to
Di Sanggau, orang Tionghoa—baik yang beragama Katolik, Protestan, maupun Konghucu, adalah pelaku utama ekonomi. Banyak dari mereka yang memiliki kios di pasar Sanggau, dan di kompleks pasar itu pula mereka membangun Pekong Tri Dharma, rumah ibadah Konghucu yang dikelola oleh Yayasan Sentosa Sanggau. Sebuah kuil yang megah dengan dekorasi dua patung penjaga yang mengenakan pakaian perang Cina kuno, yang secara simbolis dimaksudkan untuk menjaga keberadaan Pekong tersebut dari ancaman dan bahaya lainnya.

Yang sangat unik adalah adanya sebuah bangunan Masjid yang yang berdiri tegak tepat disamping bangunan Pekong tersebut. Kendati begitu, jamaah kedua tempat ibadah itu tidak pernah bergesekan atau saling ganggu.

Menurut Ahon, 60 tahun, salah seorang sesepuh pedagang Tionghoa di pasar itu, kuil tersebut sudah berdiri lama bahkan sebelum masjid tersebut berdiri sekitar tahun 1970-an. “Kita tidak pernah saling mengganggu satu sama lain disini walaupun terlihat janggal sebuah masjid kok berdiri di dekat sebuah Klenteng rumah ibadah orang Tionghoa,” tuturnya.

Kedua umat berlainan agama itupun tidak saling mengusik. Bahkan, selama bulan Ramadhan, banyak kedai dan rumah makan Cina di dekat masjid itu tetap buka seperti biasa, dan mereka tidak mendapat ancaman seperti yang banyak terjadi di daerah lain di Indonesia. Bahkan ada rumah makan dengan menu daging babi, yang jaraknya hanya sekitar 20 meter saja dari masjid.

Apa yang kita lihat di pasar kota kecil Sanggau itu adalah contoh positif toleransi beragama yang didambakan oleh semangat pendirian Indonesia.

Meski banyak penduduk Sanggau yang mungkin tak tahu-menahu ada pidato Presiden AS Barack Obama di Mesir yang berusaha mendamaikan perselisihan antara Amerika dengan dunia Muslim, apa yang mereka praktikkan sungguh merupakan refleksi dari ucapan Obama: “Selama hubungan kita mengakui perbedaan yang ada, kita bisa memberdayakan mereka yang [lebih suka] menanam kebencian daripada perdamaian, mereka yang mendorong konflik daripada kerjasama, dan inilah yang membantu semua orang meraih keadilan dan kemakmuran.”

Orang-orang Sanggau menyadari bahwa hidup berdampingan dengan damai jauh lebih baik daripada berkonflik. Semoga kedamaian di kota kecil itu tak akan dihancurkan oleh mereka yang tak melihat nilai-nilai luhurnya.

###

* Tony Kusmiran adalah wartawan majalah bulanan Kalimantan Review, dan saat ini tengah mengembangkan program media berbasis masyarakat di Sanggau. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 22 Oktober 2010, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Tidak ada komentar: